Prinsip-prinsip Dasar Keuangan Syariah, Perusahaan & Landasan Akad Syariah


Prinsip-prinsip  Dasar  Keuangan Syariah

Ekonomi syariah sebagai salah satu sistem ekonomi yang eksis di dunia, untuk hal-hal tertentu tidak berbeda dengan sistem ekonomi mainstream, seperti kapitalisme. Mengejar keuntungan sebagaimana dominan dalam sistem ekonomi kapitalisme, juga sangat dianjurkan dalam ekonomi syariah. Namun, dalam banyak hal terkait dengan keuangan, Islam memiliki beberapa prinsip yang membedakannya dengan sistem ekonomi lain:

1.         Prinsip Tauhid.

Ayat-ayat Alquran yang terkait dengan prinsip  tauhid dalam  menjalankan kegiatan ekonomi, antara lain adalah sebagai berikut:

Katakanlah (Muhammad) "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia (Q.S. 112: 1-4).

Dalam konteks berusaha atau bekerja, ayat di atas dapat memberikan sprit kepada seseorang, bahwa segala bentuk usaha yang dilakukan manusia harus tetap bergantung kapada Allah. Al-Himsi (1984: 603), dalam bukunya, Tafsir wa-Bayan Mufradat al-Qur`an, menterjemahkan Allah al-Shamad (Allah tempat bergantung) dengan “huwa al-wahdah al-maqshud fi al-hawaij”(hanya Allah tempat mengadu dalam segala kebutuhan).

Prinsip tauhid adalah dasar dari setiap bentuk aktivitas kehidupan manusia. Quraish Shihab (2009: 410) menyatakan bahwa tauhid mengantar manusia dalam kegiatan ekonomi untuk meyakini bahwa kekayaan apapun yang dimiliki seseorang adalah milik Allah. Keyakinan demikian mengantar seseorang muslim untuk menyatakan:

Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam
(Q.S. 6:163).

Keyakinan atau pandangan hidup seperti ini, akan melahirkan aktivitas yang mimiliki akuntablitas ke-Tuhan-an yang menempatkan perangkat syariah senagai parmeter korelasi antara aktivitas deangan prinsip syariah. Tauhid yang baik diharapkan akan membentuk integritas yang akan membantu terbentuknya good goverment. Prinsip akidah menjadi pondasi paling utama ang menjadi penopang bagi prinsip-prinsip lainnya. Keasadaran tauhid akan membawa pada keyakinan dunia akhirat secara simultan, sehingga seorang pelaku ekonomi tidak mengejar keuntungan materi semata. Kesadaran ketauhidan juga akan mengendalikan seorang atau pengusaha muslim untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dipahami mengapa Islam melarang transaksi yang mengandung unsur riba, pencurian, penipuan terselubung, bahkan melarang menawarkan barang pada konsumen pada saat konsumen tersebut bernegosiasi dengan pihak lain.

Dampak positif lainnya dari prinsip tauhid dalam sistem ekonomi Islam adalah antisipasi segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada seseorang atau satu kelompok saja. Atas dasar ini pulalah Alquran membatalkan dan melarang melestarikan tradisi masyarakat Jahiliyah, yang mengkondisikan kekayaan hanya beredar pada kelompok tertentu saja (Shihab: 2004: 113). Firman Allah dalam surah al-Hasyar/59: 7:

“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”

Secara  faktual, seperti            diakui  oleh     Quraish            Shihab (2009:  411),    sebagian manusia sangat sukar mengendalikan keinginannya untuk mendapatkan keuntungan meskipun pada waktu yang sama ia menganiaya manusia maupun makhluk lain. Karena itu, menurut Quraish, jika sprit ketuhanan atau peran moral sebagian masyarakat pelaku ekonomi, kurang memadai untuk mengendalikan keinginannya, maka demi kemaslahatan, pemerintah dibenarkan melakukan intervensi untuk mengontrol, misalnya, harga-harga kebutuhan pokok, walaupun pada dasarnya harga barag termasuk kebutuhan pokok diserahkan pada mekanisme pasar.

2.         Prinsip Keadilan

berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar dan sepatunya. Dengan demikian, seseorang disebut berlaku adil apabila ia tidak berat sebelah dalam menilai sesuatu, tidak berpihak kepada salah satu, kecuali keberpihakannya kepada siapa saja yang benar sehingga ia tidak akan berlaku sewenag-wenang.

Pembahasan tentang adil merupakan salah satu tema yang mendapat perhatian serius dari para ulama. M. Quraish Shhab, dalam buku Wawasan Al-Quran (2009: 111) ketika membahas perintah penegakan keadilan dalam Alquran mengutip tiga kata yakni al-‘adl, al-qisth, dan al-mizan.

Penggunaan kata al-qisth dan al-mizan digunakan Alquran dalam surah ar-Rahman/55:  7-9:
“Dan Allah telah ditinggika-Nya dan dia meletakkan neraca keseimbangan (keadilan).Agar kamu jangan memerusak keseimbangan itu.Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”

Dalam operasional ekonomi syariah keseimbangan menduduki peran yang sangat menentukan untuk mencapai falah (kemenangan, keberuntungan). Dalam terminologi fikih, adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu pada posisinya (wadh‘ al-syai` fi mahallih).

Implementasi keadilan dalam aktivitas ekonomi adalah berupa aturan prinsip interaksi maupun transaksi

yang melarang adanya unsur:

a.         Riba

Riba merupakan salah satu rintangan yang seringkali menggiurkan banyak orang untuk mendapatkan keuntungan. Dalam Alquran kata riba digunakan dengan bermacam-macam arti, seperti tumbuh,tambah, menyuburkan, mengembangkan serta menjadi besar dan banyak. Secara umum riba berarti bertambah baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Menurut etimologi, kata al-riba bermakna zada wa nama yang berarti bertambah dan tumbuh. Al-Syirbashi (1981:91) mendefinisikan riba dengan: kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang berakad (bertransaksi).

Islam melarang riba dengan segala bentuknya, karena bertentangan dengan prinsip kemanusiaan, persaudaraan dan kasih sayang. Bayak ayat dan hadis yang memberikan gambaran tentang maksud, tujuan, dan hikmah pengharaman riba dalam sistem ekonomi Islam, antara lain: al-Baqarah/2: 275 dan 278; Ali ‘Imran/3: 130.

Implementasi dari prinsip muamalah bebas riba dalam sistem keuangan syariah menghendaki agar uang tidak dijadikan sebagai barang komoditas. Menggunakan uang sebagai barang komoditas merupakan instrumen penting dalam praktek bisnis riba yang diharamkan dalam sistem keuangan syariah.


Pengharaman riba dapat dimaknai sebagai penghapusan praktek ekonomi yang menimbulkan kezaliman atau ketidak adilan. Jika Islam memerintahkan menegakkan keadilan, Islam juga melarang kezaliman. Jika keadilan harus di tegakkan maka implikasinya kezaliman harus dihapus. Baik kezaliman yang merugikan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang.

b.         Maysir

Secara bahasa maisir semakna dengan qimar, artinya judi,yaitu segala bentuk perilaku spekulatif atau untung-untungan. Islam melarang segala bentuk perjudian.Pelarangan ini karena judi dengan segala bentuknya mengandung unsur spekulasi dan membawa pada kemudaratan yang sangat besar.Perbuatan yang dilakukan biasanya berbentuk permainan atau perlombaan. Larangan terhadap judi dapat ditemukan dalam sejumlah ayat Alquran dan teks-teks hadi Nabi saw. Di antara ayat Alquran yang melarang praktek perjudian adalah al-Baqarah/2: 219, al-Maidah/5:90.

Di zaman kemajuan seperti sekarang ini, tidak sedikit instrumen investasi yang ditawarkan investor yang mengandung unsur-unsur judi, misalnya, reksa dana. Ekspektasi keuntungan dalam menjalankan aktivitas ekonomi di sektor ini sangat dominan mengandalkan sepkulasi. Di mana seseorang yang akan memutuskan membeli atau menjual saham tertentu biasanya didasarkan pada perkiraan atau harapan bahwa saham tersebut akan naik atau turun. Untuk memberi alternatif kepada investor, yang ingin menghindari unsur maysir, yang dilarang Islam, saat ini sudah eksis Reksa Dana Syariah dengan karakteristik berbeda dengan Reksa Dana Konvensional, meskipun banyak yang mensinyalir belum bebas total dari unsur spekulasi, tatapi paling tidak sahamnya tidak diinvestasikan pada objek-objek terlarang (Andri Soemitra: 2014: 171-174).

c.         Gharar.

Secara bahasa garar berarti bahaya atau resiko. Dari kata garar juga terbentuk katatagriryang berarti memberi peluang terjadinya bahaya. Namun, menurut Wahbah az-Zuhaili (1985: 435), makna asli garar adalah sesuatu yang pada lahirnya menarik, tetapi tercela secara terselubung.Sejalan dengan makna ini, kehidupan di dunia dinamai Alquran dengan fenomena yang penuh manipulasi.Dalam interaksi sosial maupun transaksi finansial garar bisa mengambil bentuk adanya unsur yang tidak diketahui atau tersembunyi untuk tujuan yang merugikan atau membahayakan pihak lain (Ad-Dareer: 1997: 6).Bahkan secara lebih jelas, Hashim Kamali (2002:84) menyebutnya dengan khid’ah, yang berarti penipuan.

Dalam istilah fiqh muamalah, garar dapat memiliki konotasi beragam. Meskipun demikian, suatu hal yang pasti dan secara sederhana disimpulkan bahwa garar adalah terkait dengan adanya ketidakjelasan akan sesuatu dalam melakukan transaksi.


Islam melarang jual beli atau transaksi yang mengandung garar.Larangan ini didasarkan pada sejumlah dalil Alquran dan hadis. Dalam surat an-Nisa’ ayat 29 secara implisit dijelaskan tentang keharaman transaksi garar: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.

Batil dalam ayat di atas kemudian dijelaskan oleh hadis Rasulullah saw. dengan menegaskan sejumlah jual beli terlarang yang mengandung unsur garar. Misalnya, jual beli model al-hasah,al-mula-masah, dan al-mu-nabazah, seperti ditegaskan dalam riwayat berikut: “… Rasulullah saw melarang jual beli hashah (lempar batu) dan jual beli garar”.

d.  Haram

Kegiatan ekonomi, dalam sistem keuangan syariah, sebagai sub ordinasi kajian mu’amalah masuk ke dalam kelompok ibadah ammah. Dimana, aturan tata pelaksaannya lebih banyak bersifat umum. Aturan-aturan yang bersifat umum dimaksud kemudian oleh para ulama disimpulkan dalam sebuah kaidah usul yang berbunyi: (al-Suyuthi: 1997: 123)“al-ashl fi al-asyya al-ibahah hatta yadll al-dalil ala tahrimiha” (hukum asal dalam muamalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkannya).

Sejalan dengan kaidah ini, jenis dan bentuk lembaga keuangan dengan segala produknya, yang berkembang di zaman kontemporer, pada prinsipnya dapat diterima sebagai kegiatan ekonomi yang sah, selama tidak ada dalil yang melarangnya.

Menurut ulama Hanafiyah, larangan dalam dalam hukum Islam terdiri dari dua kategori, yaitu larangan secara material (materi, zat, atau bendanya) dan larangang disebabkan faktor eksternal. Larangan yang bersifat material disebut haram li dzatih dan larangan yang disebabkan faktor eksternal disebut haram lighairih.Contoh, larangan kategori pertama adalah keharaman daging babi, riba, dan sebagainya.Sedangkan larangan kategori kedua, misalnya menjual barang halal dari hasil curian. Pada dasarnya barang tersebut halal dan tidak dilarang menjualnya, tetapi karena sistem atau cara (operasionalnya) mendapatkannya tidak benar, maka menjualnyapun menjadi terlarang.

3.         Prinsip Maslahat

Secara sederhana, maslahat bisa diartikan dengan mengambil manfaat dan menolak kemadaratan (al-Ghazali: 1983: 139), atau sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, faedah atau guna (al-Syathibi: 1997: 25). Hakikat kemaslahatan adalah segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi integral duniawi dan ukhrawi, material dan spritual, serta individual dan sosial. Aktivitas ekonomi dipandang memenuhi maslahat jika memenuhi dua unsur, yakni ketaatan (halal) dan bermanfaat serta membawa kebaikan (thayyib) bagi semua aspek secara integral. Dengan demikian, aktivitas tersebut dipastikan tidak akan menimbulkan mudarat.

Sesuatu dianggap maslahat apabila terpenuhi.Apabila kemaslahatan dikatakan sebagai prinsip keuangan (ekonomi) maka semua kegiatannya harus memberikan kemaslahatan (kebaikan) bagi kehidupan manusia; perorangan, kelompok, dan komunitas yang lebih luas, termasuk lingkungan.

Dalam konteks pembinaan dan pengembangan ekonomi perspektis syariah, teori maslahat menduduki peranan penting, bahkan menurut para pakar fiqh, semisal al-Syathibi (1997: 25), maslahah (kebaikan dan kemanfaatan yang dia sebut dengan kesejahteraan manusia) dipandang sebagai tujuan akhir dari pensyariatan penetapaan norma-norma syariah.

Agaknya, dalam rangka memperhatikan kemaslahatan inilah, dalam sejarah pengelolaan sub-sub ordinasi ekonomi Islam, suatu kasus bisa saja berubah ketentuan hukumnya apabila ‘illatnya (maslahat atau madarat) telah hilang. Begitu juga sesuatu yang pada dasarnya boleh (tidak dilarang), tapi dalam waktu atau kondisi tertentu bisa saja ditetapkan hukumnya terlarang (haram). Contoh, keharaman menggunakan jasa bank konvensional tidak berlaku bagi orang yang tinggal di daerah yang belum ada bank syariah.

Tidak diragukan, untuk tujuan memelihara kemaslahatan ini jugalah, kenapa sejumlah ijtihad Umar bin al-Khattab, di bidang ekonomi, bukan saja kontroversial dengan pendapat para sahabat Nabi di masanya, bahkan berbeda dengan praktek yang berlaku di zaman Rasulullah saw. Salah satu di antara ijtihad Umar yang kontroversial itu ialah tentang muallaf yang tidak mendapat bagian dari pembagian zakat.

Dalam surat at-Taubah ayat 60, Allah menerangkan bahwa di antara golongan yang berhak menerima zakat ialah muallaf. Allah berfirman: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, … para muallaf yang dibujuk hatinya …”

Dalam kaitan di atas, dikabarkan bahwa Umar pernah menolak memberikan zakat kepada dua orang muallaf yang telah mendapat rekomendasi dari khalifah Abu Bakar. Penolakkan terhadap permohonan dua orang muallaf tersebut disertai dengan penegasan Umar, seperti dikemukakan Rasyid Ridha (1928/10: 496) : ini adalah sesuatu (perkara) yang diberikan Rasul kepada kamu dahulu –dengan tujuan—untuk melunakkan hati kamu. Sekarang Allah telah meninggikan Islam dan kamu tidak diperlukan lagi.Jika kamu tetap pada Islam (terserah kamu) dan jika tidak maka di antara kita adalah pedang.

Menurut          pendapat         Umar,  agaknya,          bagian  muallaf            diberikan         hanya   pada    saat            Islam   masih   lemah.

Menurutnya, ketentuan memberikan bagian zakat kepada muallaf  disyariatkan disebabkan suatu ‘illah.  Oleh karena ‘illah itu telah hilang, maka hukum itu tidak diterapkan lagi. Dalam kasus muallaf ini, nampaknya Umar tidak melihat kemaslahatan untuk meneruskan pemberian zakat kepada orang-orang (muallaf ) yang pernah menerima sebelumnya.

4.         Prinsip Ta’awun (Tolong-menolong).

Ideologi manusia terkait dengan kekayaan yang disimbolkan dengan uang terdiri dari dua kutub ekstrim; materialisme dan spritualisme.Materialisme sangat mengagungkan uang, tidak memperhitungkan Tuhan, dan menjadikan uang sebagai tujuan hidup sekaligus mempertuhankannya. Kutub lain adalah spritualisme (misalnya Brahma Hindu, Budha di Cina, dan kerahiban Kristen) menolak limpahan uang, kesenangan dan harta secara mutlak.

Sementara Islam, berdasarkan beberapa dalil terkait uang dan yang semakna dengannya, menunjukkan bahwa

Islam berada di jalan tengah antara dua kutub di atas. Firman Allah dalam surah al-Qashashs/28:77 :

“dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Allah sebagai pencipta, pemilik dan pengatur segala harta, menjadikan bumi, laut, sungai, hutan, dan lain-lain merupakan amanah untuk manusia, bukan milik pribadi.Di samping itu Alquran juga mengakui adanya milik pribadi.Dengan demikian ada sintesis antara kepentingan individu dan masyarakat.Hal ini berbeda sekali dengan sistem ekonomi komunis dan kapitalis.Selain itu, terdapat hal-hal yang telah lazim dalam ekonomi Islam, seperti sedekah, baik yang wajib maupun anjuran.

Shadaqah pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang berfungsi untuk menjamin distribusi pendapat dan kekayaan masyarakat secara lebih baik. Dengan kata lain zakat merupakan salah satu instrument dalam ajaran Islam untuk mengayomi masyarakat lemah dan sarana untuk berbagi rasa dalam suka maupun duka antar sesama manusia yang bersaudara dalam keterciptaannya, sihingga tidak tega mengambil bunga dari saudaranya, tidak curang, dan lain-lain.

Ekonomi Islam memandang bahwa uang harus berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pokok, sekunder dan penunjang (daruriyah, hajiyah, dan tahsiniah) dalam rangka mendapatkan ridha Allah secara individual dan komunal. Disamping itu, uang juga berfungsi untuk cobaan Allah apakah seseorang bersyukur atau kufur. Fungsi sosial harta dalam Alquran adalah untuk menciptakan masyarakat yang etis dan egaliter.

Berdasarkan pandangan di atas, mencari keuntungan atau akad komersil dengan berbagai aktivitas ekonomi adalah sesuatu yang terpuji dalam ajaran Islam.Akan tetapi, aktivitas ekonomis tersebut diharapkan memberi dampak positif terhadap masyarakat, tidak boleh ada yang terzalimi.Instrumen untuk mencapai tujuan ini, disyariatkanlah berbagai akad, transaksi, atau kontrak. Jika sebaliknya, cara-cara mendapatkan harta menyebabkan kemudaratan bagi pihak lain, maka akad trsebut menjadi batal, dan penggunaannya yang tidak etis dan egaliter akan membuat individu yang bersangkutan tercela dalam pandangan syarak.

5.  Prinsip Keseimbangan

Konsep ekonomi syariah menempatkan aspek keseimbngan (tawazun/equilibrium) sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi. Prinsip keseimbangan dalam ekonomi syariah mencakup berbagai aspek; keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil, resiko dan keuntungan, bisnis dan kemanusiaan, serta pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam.

Sasaran dalam pembangunn ekonomi syariah tidak hanya diarahkan pada pengembangan sektor-sektor korporasi namun juga pengembangan sektor usaha kecil dan mikro yang tidak jarang luput dari upaya-upaya pengembangan sektor ekonomi secara keseluruhan.


Perusahaan dan Landasan Akad Syariah

Setiap organisasi bisnis atau kepemilikan usaha memiliki seperangkat keuntungan dan kerugian yang
unik. Kunci untuk memilihnya yaitu dengan memahami karakterisik masing-masing dan mengetahui bagaimana bentuk usaha ini mempengaruhi, baik hal bisnis maupun pribadi. Bentuk usaha yang terbaik ialah bentuk yang sesuai keadaan, kepribadian, keyakinan, atau kemampuan calon pebisnis. Berikut ini merupakan definisi karakteristik bentk-bentuk organisasi bisnis tersebut yang di sertai dengan tinjauan kontrak syariah yang mendasarinya.

1.     Usaha perorangan
Menurut Sumarni dan Soeprihanto (2010), usaha ini dimiliki, dikelola, dan dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab penuh (tidak terbatas) terhadap semua resiko dan aktifitas perusahaan. Bentuk usaha ini mengandung kewajiban yang tidak terbatas bagi individu tersebut yang merupakan eksposur harta pribadi terhadap utang bisnisnya.

2.     Usaha pola kemitraan
Usaha pola kemitraan yaitu perjanjian antar perorangan untuk memadukan modal dan bakat mereka dalam sebuah bisnis. Usaha ini di miliki oleh dua orang tau lebih dengan nama bersama. Partnership mempunyai banyak nama lain seperti perusahaan persekutuan dan perkongsian atau kemitraan. Seperti halnya usaha perorangan, usaha kemitraan mengandung kewajiban yang tidak terbatas bagi para mitranya. Pendapatan bisnis yang dihasilkan digabung dengan penghasilan pribadi dengan tujuan pajak. Namun tidak seperti usaha perorangan, dalam kemitraan ini jelas lebih dari satu orang yang terlibat sehingga diperkirakan mempunyai kesempatan untuk memperoleh lebih banyak sumber modal dari pasar keuangan. Kemitraan modern mempunyai kesamaan dengan usaha-usaha yang dijalankan pada masa klasik yaitu usaha dengan pola mudharabah dan musyarakah.

a.      Mudhrabah
Ada dua istilah yang berlaku didalam tradisi islam sehubungan dengan konsep mudharabah, yaitu istilah mudharabah- qiradh- muqaradah. Dalam mudharabah terdapat dua pelaku kerjasama yaitu antara investor (rab al-maal) dengan agen (mudharib). Dalam praktik mudharabah, pembagian keuntungan antara ke dua belah pihak harus ditentukan secara proporsional dan tidak dapat langsung ditentukan sebelumnya atau dijamin berupa keuntungan dalam jumlah tertentu. Dalam mudharabah yang sah, rab al-mal tidak bertanggungjawab atas kerugian yang melebihi jumlah dana yang telah ia berikan. Sebaliknya, mudharib yang tidak ikut serta investasi dalam bentuk uang tidak menanggung bagian setiap krugian. Singkatnya, keuntungan yang dihasilkan dibagi sesuai rasio yang disepakati sebelumunya. Sedangkan jika terjadi kerugian, maka ditanggung sepenuhnya oleh penyedia dana. Mudharabah dibagi menjadi 2 yaitu, mudharabah muthlaqah (tidak dibatasi), dan mudharabh muqayadah (dibatasi).

b.    Musyarakah
Bentuk kedua dalam kontrak atau akad syirkah merupakan musyarakah atau syirkah. Musyarakah dimaknai secara umum sebagai percampuran dana dengan tujuan berbagi keuntunagn. Berdasarkan fatwa DSN-No.08/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang pembiayaan musyarakah. Menimbang bahwa kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan modal dari pihak lain, antara lain melalui pembiayaan musyarakah, ialah pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara ke dua belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu.
Al-musyarakah yaitu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan bantuan dana (atau amal/ expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan bersama. Dalam buku “Manajemen Dana Bank Syariah” karangan Muhamad, akad musyarakah yaitu transaksi penanaman dna dari dua atau lebih pemilik dana dan barang untuk menjalankan usaha tertentu sesuai syariah dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan bagi hasil yang disepakati, sedangkan pembagian kerugian berdasarkan porsi modal masing-masing.
Fitur dan Mekanisme
a.       Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyedikan dana atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu,
a)      Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan bank sebagai mitra usaha dapat berpartisipasi pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati seperti melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah berdasarkan bukti pendukung yang bisa dipertanggungjawabkan,
b)      Pembagian hasil usaha dari pengelolaan modal dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati,
c)      Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak bisa diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak,
d)     Pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam bentuk uang atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang/tagihan,
e)      Dalam kaitannya dengan pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya,
f)       Dalam hal pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan melalui bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar (net realizable value) dan dinyatakan secara jelas jumlahnya,
g)      Jangka waktu pembiayaan atas dasar akad musyarakah, pengembalian dana, serta pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan antara bank dan nasabah,
h)      Pengemblian pembiayaan atas dasar akad musyarakah dilakukan dalam dua cara, diantaranya secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode pembiayaan, sesuai dengan jangka waktu pembiayaan atas dasar akad musyarakah,
i)        Pembagian hasil usaha dilihat dari laporan hasil usaha nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan, serta
j)        Bank dan nasabah menanggung kergian secara proporsional menurut porsi modal masing-masing.

Jenis-jenis Musyarakah, Musyarakah terdiri dari dua jenis:
1)  Musyarakah pemilikan. Musyarakah pemilikan terbentuk karena warisan, wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam hal ini kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah asset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan dari asset tersebut.
2)   Musyarakah akad. Musyarakah akad terbentuk dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Merekapun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad terdiri dari:

        Syirkah al-‘Inan yaitu kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana serta berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan serta kerugian sebagaimana yang disepakati di antara mereka. Meskipun demikian porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka.

        Syirkah mufawadhah yaitu kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan serta kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggungjawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak.

        Syirkah A’maal yaitu kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.misalnya, kerja sama dua orang arsitek untuk menyelesaikan sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. Al-musyarakah ini kadang-kadang disebut musyarakah abdan atau sanaa’i.

        Syirkah Wujuh yaitu kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepda penyuplai yang disediakan aoleh tim mitra. Jenis al-musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembeli secara kredit berdasarkan pada jaminan terbut. Karenanya kontrak ini pun lazim disebut sebagai musyarakah piutang.

        Syirkah al-mudharabah penjelasan tentang syirkah al-mudharabah dapat dilihat pada bagian berikut. Cirinya ialah pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek atau usaha dan pengusaha setuju untuk mengelola proyek tersebut, pemilik modal tidak dibenarkan ikut dalam mengelola usaha, tetapi diperbolehkan membuat usulan dan melakukan pengawasan, pembagian hasil keuntungan sesuai dengan perjanjian, apabila mengalami kerugian, maka sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal, kecuali apabila kerugian tersebut terjadi karena penyelewengan atau penyalahgunaan oleh pengusaha.


Kategori Kontrak Syariah

HIBAH (Pemberian)
Pengertian Hibah adalah pemilikan terhadap sesuatu pada masa hidup tanpa meminta ganti. Hibah tidak sah kecuali dengan adanya ijab dari orang yang memberikan, tetapi untuk sahnya hibah tersebut menurut Imam Qudamah dari Umar bahwa sahnya hibah itu tidak disyaratkan pernyataan qabul dari si penerima hadiah.
Hal ini berdasarkan hadits bahwa Ibnu Umar berhutang unta kepada Umar, Rasulullah berkata kepada Umar dengan mata beliau. Umar berkata; Unta itu untukmu wahai Rasulullah. Rasulullah berkata: “Unta itu untukmu wahai Abdullah bin Umar, pergunakanlah sesuka hatimu”. Disini tidak ada pernyataan qabul dari nabi ketika menerima pemberian unta, juga tidak ada pernyataan qabul dari ibnu Umar ketika menerimanya dari Rasulullah.saw.
Pemberian (hibah) itu sah menurut syara’ dengan syarat-syarat antara lain
– Si pemberi hibah (wahib) sudah bisa dalam mengelola keuangannya.
– Hibah (barang/harta yang diberikan) harus jelas
– Kepemilikan terhadap barang hibah itu terjadi apabila pemberian (hibah) tersebut sudah berada ditangan si penerima.(muhab). 

IBRA
Menurut arti kata Ibra sama dengan melepaskan, mengikhlaskan atau menjauhkan diri dari sesuatu.
Menurut istilah Fiqh Ibra adalah pengguguran piutang dan menjadikannya milik orang yang berhutang.
Menurut syari’at Islam Ibra merupakan salah satu bentuk solidaritas dan sikap saling menolong dalam kebajikan yang sangat dianjurkan  syari’at Islam, seperti dikemukakan dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 280 yang artinya :
Dan jika seseorang (yang berhutang itu) dalam kesukaran maka berilah ia tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian atau seluruh hutang itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
Sehubungan dengan mendefinisikan Ibra terutama dari segi makna “ penggugaran” dan “ pemilikan” para ulama fiqh berbeda pendapat, antara lain sbb :
Ulama Madzhab Hanafi menyatakan bahwa Ibra lebih dapat diartikan pengguguran, meskipun makna pemilikan tetap ada.
Menurut Madzhab Maliki disamping bertujuan menggugurkan piutang, ibra juga dapat menggugurkan hak milik seseorang jika ingin digugurkannya. Ketika hak milik terhadap suatu benda digugurkan oleh pemiliknya, maka statusnya sama dengan hibah.
Menurut Madzhab Syafi’i, sebagian ulama mengatakan bahwa Ibra mengandung pengertian pemilikan utang untuk orang yang berhutang. Sebagian ulama lainnya mengartikan pengguguran, seperti yang dikemukakan Madzhab Hanafi.
Dari semua pendapat-pendapat ulama tersebut di atas pendapat yang terakhir ini yang paling shahih.

WAKALAH
Al-Wakalah menurut bahasa Arab dapat dipahami sebagai at-Tafwidh. Yang dimaksudkan adalah bentuk penyerahan, pendelagasian atau pemberian mandat dari seseorang kepada orang lain yang dipercayainya. Yang dimaksudkan dalam pembahasan ini wakalah yang merupakan salah salah satu jenis akad yakni pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.
Agama Islam mensyari’atkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Hal ini karena tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan urusannya sendiri, terkadang suatu kesempatan seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan/urusan pribadinya kepada orang lain untuk mewakili dirinya. Dalil syara’ yang membolehkan wakalah didapati dalam firman Allah pada surat Al-Kahfi :19, yang terjemahannya sbb: .

...Maka suruhlah salah seorang diantara kamu  pergi ke kota dengan membawa uang  perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makakan yang lebih baik Dan bawalah sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada siapapun”.

Dalam ayat ini dilukiskan perginya salah seorang dari ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.

Selain itu dalam ayat 55 urat Yusuf disebutkan yang terjemahannya : “Dia (Yusuf) berkata

Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir) karena aku sesungguhnya orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan”.
Dalam konteks ini nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga. Federal Rserve “ negeri Mesir.

Disamping ayat al-Qur’an ada juga hadits Nabi Muhammad SAW riwayat Imam Malik terdapat dalam kitab Al-Muawaththa yang artinya :

“Bahwasanya Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafii dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits.

Dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah saw telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan, seperti membayar utang, penetapan had dan membayarnya, pengurusan unta, membagi kandang hewan dan lain-lain.
Oleh karena itulah para ulama sepakat bahwa dalil kebolehan wakalah juga didasarkan dengan ijma ulama dan bahkan ada ulama yang sampai mensunnahkannya dengan alasan karena hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan.

Aplikasi wakalah dalam konteks akad tabarru dalam perbankan Syari’ah berbentuk jasa pelayanan, dimana Bank Syari’ah memberikan jasa wakalah, sebagai wakil dari nasabah sebagai pemberi kuasa (muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini Bank akan mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasanya tersebut. Sebagai contoh bank dapat menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telpon kepada perusahaan listrik atau perusahaan telpon.

KAFALAH ( Guaranty)
Pengertian kafalah menurut bahasa berati al-dhaman (jaminan), hamalah(beban) dan za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain, dimana pemberi jaminan (kaafil) bertanggungjawab  atas pembayaran kembali suatu utang  yang menjadi hak penerima jaminan (makful).
Dalam pengertian lain, kafalah juga berti mengalihkan tanggungjawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.

Dasar disyari’atkan kafalah Firman Allah dalam surat Yusuf ayat 72: yang terjemahannya adalah :

“ Kami kehilangan alat takar  dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta, dan aku jamin itu “

Dalam tersebut kata Za’im yang berarti penjamin, dalam kaitan cerita nabi Yusuf AS ini gharim atau orang yang bertanggung jawab atas pembayaran.

HAWALAH
Dalam enseklopedi Perbankan Syari’ah Hawalah bisa disebut juga Hiwalah yang berarti intiqal (perpindahan), pengalihan, atau perubahan sesuatu atau memikul sesuatu di atas pundak.
Menurut istilah Hawalah diartikan sebagai pemindahan utang dari tanggungan penerima utang (ashil) kepada tannggugan yang bertanggujawab (mushal alih) dengan
cara adanya penguat. Atau dengan kata lain adalah pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak pertama) yang sudah tidak sanggup lagi untuk membayarnya kepada pihak kedua yang memiliki kemampuan untuk mengambil alih atau untuk menuntut pembayaran utang dari/atau membayar utang kepada pihak ketiga.

RAHN (Gadai)
Pengertian Gadai (Rahn)
Gadai (Rahn) secara etimologis (pendekatan kebahasaan/lughawi) sama pengertiannya yang berarti tetap, kekal, tahanan.
Gadai (rahn) menurut pengertian terminologi (istilah) terdapat beberapa pendapat, diantaranya menurut Sayyid Sabiq, Rahn adalah
menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, Rahn (Gadai) adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis, dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.

QARD al-Qardul Hasan
Qard bermakna pinjaman sedang al-hasan berarti baik. Maka Qardul Hasan merupakan suatu akad perjanjian qard yang berorientasi sosial untuk membantu meringankan beban seseorang yang membutuhkan pertolongan. Dalam perjanjiannya, suatu Bank Syari’ah sebagai kreditor memberikan pinjaman kepada pihak (nasabah) dengan ketentuan penerima pinjaman akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian akad dengan jumlah pengembalian yang ketika pinjaman itu diberikan.
Qardul Hasan atau benevolent adalah suatu akad perjanjian pinjaman lunak diberikn atas dasar kewajiban sosial semata, dengan dasar taa’wun (tolong menolong) kepada mereka yang tergolong lemah ekonominya, dimana si peminjam tidak diwajibkan untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman.

WADI’AH (Trustee Depository)
Pengertian dari segi bahasa adalah meninggalkan sesuatu atau berpisah. Dalam bahasa Indonesia diartuikan sebagai titipan.
Menurut istilah Wadi’ah berarti penguasaan orang lain untuk menjaga hartanya, baik secara sharih (jelas) maupun secara dilalah (tersirat). Atau mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan  ungkapan jelas atau melalui isyarat, contoh; “saya titipkan tas ini kepada anda “ lalu orang itu menjawab “ Saya terima “ Maka sempurnalah akad Wadi’ah.
Seperti jenis akad yang lain, Wadi’ah juga merupakan akad yang bersifat tolong menolong antara sesama manusia. Para ulama sepakat bahwa akad wadi’ah merupakan akad yang mengikat bagi kedua belah pihak. Wadi’ atau pihak yang menerima tuitipan harus bertanggungjawab atas barang yang dititipkan kepadanya, yang berarti menerima amanah untuk menjaganya.

WAKAF
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut istilah syara’, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuanIslam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allahta’alaa

Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda sehingga menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan.

Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifahini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusufdan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri

Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat
Pengertian wakaf menurut peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, mislanya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.

Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits:

اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)

Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah diKhaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Perbandingan Mudharabah, Musyarakah, dan Perseroan.
Mudharabah dan musyarakah merupakan contoh kemitraan yang didalamnya berlaku ketentuan bagi hasil (retrun) dan resiko. Bagi hasil tersebut mungkin akan bertambah dalam bentuk keuntungan periodik dan perubahan nilai aset. Perbandingan antara mudharabah dan musyarakah dari sejumlah aspek, diantaranya resiko keuntungan sejumlah potensi kegiatan, kewajiban pemodal, perubahan nilai aset, dan likuiditasi investasi.

Salah satu cirri dari mudharabah yaitu resiko keuntungan yang disepakati sebelumnya, yaitu keuntungan harus didistribusikan antara pemodal dan pengusaha. Hal ini mengatur setiap alokasi keuntungan secara absolut selain sesuai resiko yang disepakati sebelumnya, hal yang sama berlaku juga pada musyarakah. Adapun kerugian mudharabah benar-benar ditanggung oleh pemilik modal sedangkan pengusaha bertanggung jawab menanggung kerugian hanya jika kerugian adalah hasil dari kelalaian atau kesalahan manjerial, sedangkan pada musyarakah kedua belah pihak berbagi kerugian tersubut menurut resiko investasi masing-masing pihak dalam proyek.

Dalam perubahan nilai aset yang terjadi dalam akad mudharabah, pengusaha tidak dapat memperolehnya, baik keuntungan maupun kerugian. Keuntungan atau kerugian yang timbul tersebut hanya untuk pemilik modal. Dalam musyarakah, keuntungan atau kerugian karena perubahan nilai aset yang dibiayai oleh gabungan dana bersama sudah sewajarnya diterima kedua belah pihak.

Ciri lain pada mudharabah dan musyarakah klasik yaitu bahwa salah satu pihak dalam perjanjian tersebut memiliki opsi untuk mengakhiri perjanjian atau mengundurkan diri dari usaha tertentu setiap saat yang mereka anggap tepat. Karenanya likuiditas investasi merupakan hal yang pasti bagi para mitranya. Pada tanggal keputusan mengakhiri kontrak tersebut terjadi, keuntungan ditentukan sebagai selisih antara nilai seluruh aset yang dilikuidasi atas jumlah investasinya. Setelah keuntungan ditentukan, selanjutnya didistribusikan antar pihak yang bersangkutan sesuai dengan nisbah yang disepakati.
Pengunduran diri seorang mitra dari proyek tersebut memiliki konsekuensi yang penting yaitu perlu disiapkan likuiditas investasi mereka dalam proyek, maka dari itu para pemikir modern telah menyusun konsep likuidasi konstrukif yang dapat dilakukan dengan persetujuan semua pihak. Konsep ini menyatakan bahwa nilai aktiva bersih (Net Asset Value) dari suatu usaha dapat dihitung secara berkala dengan mengurangi seluruh kewajiban dari nilai aktiva. Dengan cara ini seorang investor dibolehkan untuk melikuidasi investasinya pada nilai tersebut.

Dalam kontrak mudharabah kewajiban penyediaan modal ialah terbatas. Hal ini dikarenakan adanya pemisahan yang jelas antara kepemilikan dan manajemen perusahaan. Semua keputusan manajerial di buat oleh mudharib, dan penyediaan modal tidak seharusnya bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh mudharib tersebut. Situasi yang sama juga berlaku pada perusahaan modern berskala besar yang juga ditandai dengan pemisahan antara kepemilikan dan manajerial perusahaan. Ciri badan hukum independen jug tidak asing bagi hukum islam contohnya dalam lembaga wakaf. Dengan pemisahan ciri kewajiban yang terbatas pada bentuk usaha hal ini memberikan fasilitas untuk memperoleh modal dengan penuh banyak kemudahan

Implementasi Organisasi Syirkah Dalam Perusahaan Bisnis
Perseroan
Perusahaan yang berada diera modern yaitu perseroan terbatas atau korporation. Persero terbatas merupakan badan hukum (perusahan) yang terpisah dari pemiliknya yang di sebut pemegang saham. Menurut PSAK No 21 tentang akuntansi ekuitas dinyatakan bahwa modal PT terdiri atas saham dan tanggung jawab persero terbatas pada jumlah modal saham yang di setor apabila PT telah disahkan menteri kehakiman. Dalam pemisahan manajemen bisnis dan kepemilikan tersebut, pemegang saham berhak memilih dewan direksi dan dapat menunjuk manajemen senior. Adanya konsep badan hukum pada perseroan terbatas atau di sebut pula naamloze vennootscaap (NV) menyebabkan bentuk perusahaan ini berbeda jauh dibandingkan bentuk usaha perorangan dan kemitraan.
            Perusahaan dalam bentuk PT, mempunyai ciri sebagai berikut:
a)      Hak dan kewajiban yang terbatas bagi pemegang sahamnya
b)      Proses pendirian PT diperlukan adanay Akte Notaris dan biaya yang relatif tinggi serta waktu yang lama
c)      Keberlangsungan usaha relatif jangka panjang, memiliki organisasi bisnis yang lebih besar dan terdapat biaya hukum
d)     Merupakan entitas yang terkena pajak, baik pajak pendapatan perusahaan maupun pajak penghasilan pribadi (pajak ganda)
e)      Mampu menggabungkan modal dari banyak pemegang saham
f)       Lebih cenderung meningkatkan modalnya dari pasar keuangan, baik pasar uang maupun pasar modal
g)      Dalam sebuah perusahaan kecil, biasanya antara pemilik, anggota dewan direksi, dan manajer (termasuk pekerja) mungkin orang yang sama atau satu keluarga. Hal ini berbeda dalam usaha yang bersekala lebih besar. Perusahaan bersama dengan dewan direksi dan manajemen yang profesional memiliki dewan utama para pemegang saham (dewan komisaris).

Didalam isi UU No 40 tahun 2007 yang merupakan revisi UU No.1 tahun 1995 tentang Perseorangan terbatas mendifisinikan perseorangan terbatas selanjutnya disebut Perseroan, ialah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan dan pelaksanaannya. Pada UU tersebut dicantumkan satu pasal yang memuat tentang Dewan Pengawas Syariah (DPS) yaitu pada bagian dua Dewan Komisaris pasal 109 sebagai berikut:
1)      Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah mempunyai Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah
2)      Dewan Pengawas Syariah sebagaimana yang dimaksud pada ayat satu terdiri atas seorang ahli Syariah atau lebih yang dianggap oeh RUPS atas rekomendasi yang ditulis oleh Majelis Ulama Syariah.
3)      Dewan Pengawas Syariah sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat satu bertugas memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. Sesuai dengan berkembangnya kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, UU ini mewajibkan perseroan yang menjalankan usahanya berdasarkan syariah selain mempunyai Dewan Komisaris juga mempunyai Dewan Pengawas Syariah.

Menurut Nafik (2009:224) Perusahaan Perseroan adalah wujud dari bentuk kombinasi antara musyarakah dan mudharabah yang tertutup (terbatas) dan terbuka. Mudharabah tertutup ialah jenis yang pemilik ananya tidak berubah atau sulit dialihkan kepada pihak lain, sedangkan Mudharabah terbuka merupakan jenis yang kepemilikan dananya dapat dialihkan kepada pihak lain karna penyertaannya dibagi dalam bentuk lembar pemilikan (saham).
Pada perusahaan perseorangan memang terdapat pemisahan antara pemilik dana (saham) dengan manajemen, tetapi tidak menutup kemungkinan para pemegang saham itu terlibat. Keterlibatan tersebut dilihat dalam pembentukan Dewan Dereksi (manajemen). Dalam perseroan, saham dapat dialihkan pada pihak lain, apalagi bila perusahaan tersebut ialah perusahaan terbuka atau sudah go public. Saham Perusahaan terbuka dapat dimiliki dan berpindah tangan melalui pasar modal.
Berdasarkan ketentuan syariah, konsekuensi akad mudharabah atas pembagian pendapatan ataupun pembagian laba bersih yaitu melibatkan antara manajemen (Dewan Dereksi) sebagai mudharib dengan para pemegang saham sebagai shohibul mal, sedangkan berdasarkan hukum positif di Indonesia pada UU No.40 tahun 2007disebutkan bahwa laba bersih yang diperoleh perseroan disisihkan sebagai cadangan atau laba ditahan untuk modal operasi perusahaan selanjutnya, dan sisanya dibagi kepada pemegang saham sebagai deviden, selanutnya Dewan Direksi diberikan tunjangan dan gaji yang ditentukan RUPS yang tidak bergantung oleh jumlah pendapatan, laba bersih ataupun deviden.

Komentar